Berita

Berita Thumbnail
Kamis, 19 Desember 2013
Oleh: Admin

SEMINAR NASIONAL DESAIN KRIYA DI TENGAH MASYARAKAT URBAN

Program Studi Desain Produk Fakultas Seni Rupa & Desain Universitas Trisakti seminar nasional desain kriya SEMINAR NASIONAL DESAIN KRIYA DI TENGAH MASYARAKAT URBAN 19 Desember 2013 desain kriya 1 Ketua PS Desain Produk yaitu Drs. Awang Eka Novia R, M.Ds., menyampaikan kata sambutannya.

Gaya hidup masyarakat urban yang menuntut segala sesuatunya serba praktis dan modern, berpengaruh pula pada desain-desain produk dalam memenuhi kebutuhan keseharian mereka. Tuntutan pasar terhadap desain suatu produk terus berkembang. Pasar tidak saja menginginkan produk yang memiliki harga yang murah serta kualitas yang baik saja, namun sudah berkembang menjadi tuntutan terhadap nilai estetika, fungsi, kepraktisan, dan tidak ketinggalan jaman.Untuk memenuhi kebutuhan tersebut, maka kegiatan desain dan pengembangan produk yang serba modern telah menjadi salah satu bagian yang sangat penting dari serangkaian aktivitas yang dilakukan di perkotaan.Berangkat dari hal tersebut, perlu dipikirkan bagaimana caranya agar ditengah derasnya arus modernitas yang menjadi gaya hidup masyarakat urban tersebut, masyarakat tetap tidak lepas dari akar identitas dari mana mereka berasal yaitu kearifan budaya lokal. 
 
Materi yang disampaikan dalam Seminar ini meliputi:

1. Desain Kriya si Tengah Masyarakat Urban (Prof. SP Gustami, SU, Guru besar ISI Yogyakarta )

2. Kriya Tradisi di Tengah Masyarakat Urban (Drs. Ketut Muka, M.Si, Dosen ISI Denpasar)

3. Pendidikan Desain Kriya (Drs. Sardi, Kepala PPPPTK Seni Budaya Yogyakarta)

4. Penerapan Motif Hias Tradisional Desain Produk Kriya Kelom Geulis Tasikmalaya (Drs. Udanarto, dosen FSRD Usakti) 

 
Kriya di Tengah Masyarakat Urban  (Drs. Ketut Muka, M.Si)
Perjalanan panjang kriya dalam upaya pemenuhan kebutuhan pasar masyarakat hingga kini tidak luput dari godaan dan tantangan, baik yang datang dari luar maupun internal masyarakat pekriya. Namun demikian, dengan penuh kesabaran, ketelitian, dan ketekunan dalam mengantisipasi semua godaan tersebut terselesaikan secara selektif. Wacana kriya yang berkembang sejak tahun delapan puluhan sampai sekarang mengingatkan dan menyadarkan kita akan posisi kriya itu sendiri. Para praktisi, pakar, maupun pengelola/pelaksana pendidik di bidang kekriyaan ketika itu sempat "larut" dengan berbagai wacana baik lewat seminar, lokakarya, maupun pertemuan ilmiah lainnya. Pandangan maupun pendapat yang didominasi oleh kalangan akademisi tersebut intinya mencari istilah kriya/kria beserta batasan-batasannya.

 

Keragaman budaya Indonesia khususnya produk kriya yang ada dan berkembang di berbagai daerah adalah sumber kekayaan sekaligus kebanggaan Indonesia. Aneka ragam motif, material, bentuk, dan gaya yang dimiliki oleh setiap daerah adalah potensi yang perlu dilestarikan dan dikembangkan lewat tangan terampil para kriyawan. Dalam usaha mengembangkan produk budaya, tidaklah semudah yang diharapkan karena kendala sering terjadi apabila jenis produk bersangkutan bersinggungan langsung dengan norma-norma adat dan agama. Di sisi lain, tuntutan variasi akan produk sangat diminati, khususnya oleh masyarakat perkotaan (urban) dengan berbagai tujuan.

Kriya sebagai salah satu unsur budaya yang berupa benda (artefak) belum sepenuhnya dapat dipahami baik dari segi fungsi, jenis, maupun nilai estetis yang dikandungnya. Begitu pula bila dilihat dari aspek pengetahuan seninya, apresiasi, serta pengalaman kreatif (berproses). Pemilahan antara fungsi dan nilai guna "telah" mulai menempatkan kriya tidak hanya berupa barang (benda budaya), namun sebagai karya seni yang dapat memenuhi rasa estetis.

Di tengah masyarakat urban, ada kecenderungan modifikasi unsur motif primitif, klasik, dan tradisi yang dimiliki setiap daerah untuk dijadikan alternatif dalam upaya pengembangan produk kriya kreatif. Kriya dapat dijadikan suatu kebutuhan masyarakat lewat pengembangan dengan memadukan beberapa unsur dan motif yang mengandung nilai kebaruan. Dukungan pihak terkait sangat diperlukan untuk memberikan dorongan dan tindakan nyata terhadap sarana dan prasarana yang dibutuhkan para kriyawan untuk mencapai produk secara maksimal dan berkualitas.

Pembicara pertama Drs. Ketut Muka, M.Si saat menyampaikan materi presentasi didampingi moderator Dra. Diah Asmarandani, M.Hum 

 

Desain Kriya di Tengah Masyarakat Urban  (Prof. SP Gustami, SU)

Berbicara mengenai kriya, maka ada beberapa hal yang perlu dicermati yaitu mengenai pemahaman istilah kriya dan kerajinan, seni kriya dan seni kerajinan. Kriya berasal dari kata kria yang mempunyai pengertian karya atau kerja. Seni kriya adalah karya seni yang unik dan mempunyai karakteristik, di dalamnya terkandung muatan-muatan nilai estetik, simbolik, filosofis, dan sekaligus fungsional. Oleh karena itu dalam perwujudannya didukung craftmenship yang tinggi, akibatnya kehadiran kriya termasuk dalam kelompok seni adiluhung.

Cakupan wilayah garap kriya meliputi kriya kayu (furniture, ukiran, asesoris), kriya logam (perabotan, perhiasan, hiasan), kriya tekstil (batik, tenun, sulam, songket), kriya kulit (perkamen/tersamak), kriya anyam dan serat-seratan, dan kriya keramik (gerabah, porselen). Semua yang diebutkan di atas tersebut merupakan potensi kriya Indonesia dalam bentuk produk artefak. Di Indonesia, jenis dan ragam kriya banyak dijumpai di Sumatera (artefak makam raja-raja Aceh, hiasan kaligrafi, ulos, kain songket, hiasan rumah gadang, elemen estetik rumah panggung Palembang, dsb), di Jawa (artefak jaman purba, wayang kulit, benda pusaka, gerabah, dsb), di Bali (elemen estetik rumah adat, sarana upacara adat, wayang beber, topeng, dsb), di Nusa Tenggara (tenun Bojo/Sasak, mutiara, kerang, dsb), di Kalimantan, Sulawesi, dan Papua.

Sasaran layanan/pengembangan kriya pada masyarakat urban dapat dilihat dari beberapa aspek yaitu tingkat strata, aktivitas, kebutuhan, sasaran, dan bentuknya. Dalam penerapannya, desain kriya harus memiliki daya tahan dalam menghadapi berbagai hambatan dan tantangan. Kekuatan desain kriya di tengah modernisasi yang harus dipertahankan adalah dengan senantiasa memperhatikan:

a. Keragaman potensi berkelanjutan, ciri dan karakteristik gaya seni

b. Komoditisasi dan industrialisasi kriya

c. Hentakan modernitas yang mempengaruhi selera konsumen dan minat pasar

Sementara itu, hambatan-hambatan yang yang sering kali timbul adalah adanya:

a. Pengkajian, penciptaan, dan pemulihan ikatan tradisi budaya dan jati diri bangsa

b. Masalah kemasan, promosi dan publikasi

c. Internasionalisasi, standarisasi, dan sertifikasi

Mengadapi hal-hal tersebut di atas maka dirasa perlu untuk melakukan pengembangan desain dengan memperhatikan aspek historis, alam, religi, seni, budaya, dan pendidikan yang tentunya melibatkan sentra industri di suatu daerah dengan sasaran wisatawan domestik dan mancanegara. Dengan demikian akan tercipta kontribusi pengembangan wilayah kunjungan wisata sentra industri kriya wilayah daerah.

Prof. SP Gustami, SU saat menyampaikan materi presentasi didampingi moderator Dra. Diah Asmarandani, M.Hum.

 

Penerapan Motif Hias Tradisional Desain Produk Kriya Kelom Geulis Tasikmalaya

(Drs. Udanarto)

Kelom geulis adalah hasil produk kriya tradisional industri rumahan yang berasal dari Tasikmalaya dan telah ada semenjak zaman penjajahan Belanda dan merupakan ikon produk kriya tradisional bernuansa etnik dari daerah tersebut. Kelom geulis memiliki desain yang bagus, berbahan baku kayu yang kuat tetapi ringan, ergonomis (enak dan aman dipakai), dan memiliki konstruksi yang kuat. Namun sayangnya keberadaan kelom geulis kurang mendapatkan apresiasi yang positif. Rata-rata perajin berlatar belakang pendidikan sekolah menengah umum sehingga dalam hal pengembangan desain menjadi kurang kreatif. Selain itu juga memiliki manajemen yang kurang terampil, keterbatasan modal, dan pemasaran yang lemah.

Menghadapi berbagai permasalahan di atas, maka perlu dicari cara bagaimana cara untuk memperbaiki kualitas desain kelom geulis sehingga mampu bersaing di pasaran dan memiliki kualifikasi sebagai produk eksport. Selain itu juga perlu dipikirkan bagaimana meningkatkan kemampuan perajin dalam mendesain ragam hias secara berkesinambungan untuk menjaga daya saing dan pagsa pasar yang berkelanjutan.

Materi yang dipresentasikan oleh Drs. Udanarto ini adalah hasil penelitian yang telah beliau lakukan bersama timnya. Dari hasil penelitian tersebut disimpulkan bahwa pembaharuan nilai estetis ragam hias baru pada alas kelom geulis ternyata mendapatkan apresiasi yang cukup bagus dari responden. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa dengan adanya perbaikan desain ragam hias pada kelom diapresiasi positif oleh responden yang dalam hal ini adalah konsumen pengguna kelom. Oleh karena itu, perlu dibuat desain ragam hias yang estetis pada kelom geulis secara berkelanjutan sebab kelemahan perajin dalam mendesain ragam hias berakibat pemasaran menjadi lamban berkembang. Kemampuan mendesain secara berkelanjutan perlu didukung oleh pelatihan yang terprogram secara periodik dan perlu dibentuk kelompok untuk melakukan tukar menukar pengalaman dalam peningkatan kreativitas yang berkelanjutan.

Floatin Button